Sebuah Percakapan - Penjual Tahu Tek
19 FebruariSuara sudip bertabrakan dengan wajan terdengar lantang. Tak lama, aroma harum menguar yang kemudian diiringi suara ulekan.
"Pak, bungkus satu ya, tanpa tahu, tanpa petis," tukasku sembari memarkir motor di dekat gerobaknya.
"Lombok berapa?" (lombok-bahasa Jawa cabai) tanya bapak bergigi jarang itu dengan ramah. Senyumnya semakin memperlihatkan ruang kosong di barisan gigi atasnya.
"Satu saja, Pak."
Sudah beberapa hari belakangan aku ngidam tahu tek. Ya, mungkin terdengar aneh. Tahu tek tanpa tahu, apalagi petis. Mungkin lebih layak disebut 'Lontong Tek', atau 'Telur Dadar Tek'? Tapi memang begitulah lidahku, tidak menyukai rasa petis, juga tahu goreng yang begitu aneh bagiku.
Beruntung, aku menemukan penjual yang ramah ini. Namanya Pak Umar, biasa mangkal di depan Indomaret Kendangsari.
Sembari menunggu sang bapak meramu, kuberanikan diri membuka obrolan.
"Jualan dari jam berapa, Pak?" aku membuka percakapan.
"Dari jam tujuh, sampai jam dua belas malam, Dek," padahal tadi kulihat butiran kacang di cobek kayu itu, tapi dalam sekian detik sudah halus, menjadi bumbu kacang yang sempurna.
"Biasanya keliling ke mana aja, Pak?"
"Ya pokoknya sekitaran sini, kalau ada orang beli ya berhenti dulu. Alhamdulillah dari tadi banyak yang beli." Ia menuang telur yang sudah dibumbui dan dikocok dalam wajan hitamnya. Hitam karena terlalu usang.
Obrolan ringan terus berlanjut, hingga akhirnya aku penasaran, sudah berapa lama, sih bapak ini berjualan?
"Sudah 33 tahun, sejak 1985," lagi, Pak Umar memamerkan barisan kosong giginya. Orang ini mudah sekali tersenyum.
Pantas saja ia begitu lincah, sudah puluhan tahun ia meramu seperti ini. Kusempatkan melirik gerobaknya yang mulai lapuk. Kotak uang, sekat-sekat, hingga kayu penyangganya sudah mulai rapuh, dan agak miring.
Lagi, ia sempat menceritakan kesehariannya yang penuh perjuangan.
Bangun pagi, bekerja serabutan, dilanjut dengan berjualan tahu tek hingga malam hari. Semua dilakukan demi istri dan anak-anak yang menantinya di rumah.
Namun satu hal yang pasti, dia mau mencari rezeki halal. Tak apa tidur subuh, bangun pagi, yang penting halal. Tuhan pun memberi berkat bagi hamba-Nya yang setia dan jujur.
"Ini, Dek. Sepuluh ribu." Sekali lagi ia tersenyum, begitu tulus, penuh kebahagiaan. Sembari menyodorkan kantong plastik berisi bungkusan dan kerupuk yang menggoda.
"Terima kasih, Dek," ucapnya saat aku memberikan selembar uang ungu. Senyumnya sederhana, namun terlihat begitu tulus. Ada kebahagiaan dalam senyumnya itu.
Aku jadi heran.
Mengapa mereka yang punya sejuta alasan untuk tidak tersenyum, malah mudah sekali menebar senyum, bahkan menularkannya, mempengaruhi orang untuk ikut tersenyum.
Sedangkan aku yang punya sejuta alasan untuk tersenyum, atas segala anugerah yang telah Tuhan berikan malah sulit tersenyum. Seringkali bersungut-sungut, protes kepada Tuhan, yang tidak memenuhi keinginanku.
Ya Tuhan, ampuni hamba-Mu yang tak tahu diri ini.
0 komentar