Clarissa's Journal

Halo, teman!
Tahun ini merupakan tahun yang luar biasa buatku.
Selain karena di tahun ini, aku genap berusia dua puluh tahun,
ada banyak keputusan penting yang memuat banyak pelajaran baru di baliknya.
Tidak lupa, ada sekian pertemuan, juga perpisahan-perpisahan yang menyedihkan di tahun ini.

Dari diskusi ke diskusi, kita dapat temukan
bahwa ada banyak orang yang mudah sekali menghakimi, memberi label pada pihak seberang dengan label miliknya.

Ada air mata
yang menggenang di pelupuk
kala pagi perdengarkan
surau ujarmu yang remuk
ditinggal mati angan.

Album Ludovico Einaudi bertajuk 'Seven Days Walking' (Berjalan Tujuh Hari) akhirnya dirilis lengkap!

Sebenarnya, review ini agak telat, karena album ini sudah rilis secara utuh sejak bulan lalu (20 September, tepatnya). Tapi aku hanya mau berbagi dan memberi sedikit apresiasi untuk album ini.

Permisi, tuan
bolehkah saya menaruh rasa pada tuan?

Sebab rasa ini terlalu berat
untuk saya pikul sendirian,
pula terlalu kuat
untuk saya bendung sendirian.

Kelak,
masih adakah ruang bagi anak-cucu kita
untuk sekadar berpijak?

Kalau kamu bertanya
apa yang aku miliki?

Maka jawabku,
hanya kata-kata.

Hari Senin,
dan jalan-jalan di kota begitu padat.

Seperti isi kepalaku
yang padat oleh bayangmu
sepanjang hari.

Siang yang terik, dan semua manusia kepanasan.
Enam orang muda berkumpul, duduk mengitari sebuah meja.
Ditemani semangkuk mie ayam, dan es puter.
Tak lupa perbincangan hangat, dan senda gurau yang membuat perut sakit mewarnainya.

Pada suatu hari, ketika usiamu bertambah.
Mungkin kau akan menyadari bahwa dunia ini penuh dengan kepalsuan.


Dulu, waktu kau masih kecil
semua orang akan dengan mudahnya tersenyum saat kau melemparkan senyum,

Hari pertama November
disambut dengan wajah muram langit Surabaya

Bulan ini, menjadi bulan bersejarah.
Genap setahun sudah aku bekerja di Gereja Bethany sebagai penulis.

Tentu ada begitu banyak hal yang terjadi dan berubah dalam setahun ini.
Selain usiaku yang kini menjadi kepala dua.

Kalau kamu bertanya
apa yang aku miliki?

Maka jawabku,
hanya kata-kata.

Ini adalah buku kedua dari Faisal Oddang yang saya baca, setelah Tiba Sebelum Berangkat.

Dibuka dengan pertanyaan singkat yang menggelitik, bukan hanya membuat saya tertarik membaca novel ini, tapi juga membuat saya pribadi merenung.
Kira-kira untuk apa, ya, Tuhan menciptakan surga?

A few days ago, an English speaker guy called to my office.
The recepcionist couldn't speak English. And I was standing near them, so i pick the phone and start talking. In English, of course.

Lagi,
Publik dikejutkan dengan kematian seorang bintang dari Negeri Ginseng (14/10/19).

Dia masih muda, cantik, punya karir gemilang.
Kemampuan akting, menyanyi, dan menarinya baik.
Punya banyak fans, meski ada segelintir haters juga.

Jujur saja, aku bingung harus post apa hari ini

Mari berhenti sejenak.

Dulu jadi rumah,
sekarang jadi asing.

Kenapa tidak jadi asing saja sejak awal?

1 Oktober 2019

Hukum logika berkata:
'Mustahil ada kontradiksi dalam satu konteks,
atau satu momen yang sama.
Sesuatu akan menjadi tak logis jika ini terjadi.'

Namun ada satu hal dalam semesta
yang kutahu keberadaannya sangat relatif,

Mengapa bumi seenaknya
menarik benda-benda
dengan alasan gravitasi
tanpa pedulikan keinginan mereka
untuk kepakkan sayap dan terbang?

PRANGG!!!

Suara kaca yang menabrak ubin lalu berserakan terdengar jelas memecah heningnya malam.

Aku bukan tipe orang yang menyukai perubahan.
Apalagi jika perubahan itu mendadak.


Sebab aku tidak mudah beradaptasi pada perubahan itu.

Pepatah bilang, kata lebih tajam dari sebilah pedang.
Sebab sepatah kata punya makna, juga kuasa 'tuk ubah dunia.
Sepatah kata dapat membangun harap pada benak seseorang.

Kemarin
aku melihat keramaian,
hiruk-pikuk manusia yang penuhi jalan.

Apalah arti sebuah kata?
Hingga dengan mudahnya mereka berkecap, sampaikan kata.

Mungkin bunyinya hilang begitu saja dalam sekian detik,
namun tidak dengan maknanya.

Agustus tahun ini mungkin bisa jadi hari besejarah.
Setelah sekian pergulatan batin, aku mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupku.

Masuk ke sekolah teologi.
Suatu hal yang sama sekali tidak pernah ada, atau terbesit sedikitpun dalam benakku.

Entah
mengapa jantungku masih berdegup
begitu kencang, sebab tatapmu yang redup?

Entah
mengapa benak ini
masih simpan kenangan yang sunyi?

Kalau ada mesin waktu dan kamu bisa kembali, adakah hal yang ingin kamu benahi di masa lalu?

Di kepalaku kau adalah
serpih langit purnama
yang jatuh mengiris masa.
Buatku melalang buana,
lupa dunia, lupa realita.

Aku kembali
di bawah langit yang sama
di atas bumi yang berbeda.

Semuanya tetap sama,
hanya bumi yang berbeda.

Apa yang membuat sesuatu layak disebut 'merdeka'?


Lagu-lagu bernada nasionalis berkumandang.
Merah-putih pun menjadi corak yang mendominasi jalanan kota, perkampungan, hingga kantor dan berbagai lembaga lainnya.

Tak lupa dengan kisah tokoh-tokoh penting yang diulas kembali dalam berbagai acara
demi membangkitkan rasa syukur dan jiwa nasionalisme para pendengarnya.

Entah mengapa sebuah kata dapat menjelma
jadi barang berharga
yang sulit 'tuk didapat,
terlebih diucap.

Pada hal-hal tak terencana,
yang mampu membentuk cerita sempurna
kita menyebutnya 'kebetulan'


'Kebetulan banget ketemu kamu di sini.'
'Kebetulan kita searah'
'Kebetulan warna baju kita sama.'

Kamu boleh bilang,
telah menemukan Aladdin dalam hidupmu.


Seorang yang mampu membawamu pada dunia baru
seperti lirik yang dinyanyikan Aladdin bersama Putri Jasmine
kala mereka bermesraan di atas karpet ajaib.
Melintasi kota, ditemani bintang-bintang, dan gemerlap lampu kota.

Mendadak gelisah mendera.

Tanpa tahu apa sebabnya,
juga obatnya.

Ada perjumpaan,
ada perpisahan.

Beberapa perjumpaan memang sengaja dibuat semesta
untuk dipisahkan pada kemudian hari.

Lagi,
Perpisahan.


Kadang aku heran dengan semesta.
Kenapa repot-repot harus mempertemukan manusia-manusia,
jika akhirnya memisahkan mereka?

Lagi, aku dipertemukan paksa dengan senja oleh bumi.

Setelah sekian lama tak bertemu, wajah senja berubah banyak.
Warnanya berbeda.

'Hebat ya, dia bisa masuk sekolah Angkatan Udara.'
'Hebat ya, kecil-kecil sudah juara nasional Taekwondo.'

Bukan hanya dua kali kalimat senada masuk ke telinga dan menikam jiwaku.
Sudah puluhan, bahkan ratusan kali. Aku tak sampai hati menghitungnya.

Kisah-kisah demikian memang sangat menginspirasi.
Namun di sisi lain, juga sangat menyayat hati.

Langit malam punya ribuan bintang
yang indah, sempurnakan purnama.

Namun beberapa bintang menghilang dari cakrawala
tanpa ada yang mengetahui, tanpa ada yang menyadari,
lagi mencari-cari.

Aladdin dan Jasmine duduk berdua di atas karpet ajaib
yang membawa mereka terbang jauh ke udara,
melintasi keramaian jalan, gedung, kota, serta gemerlapnya di malam hari.

Mereka menyanyikan lagu sembari menatap satu sama lain penuh cinta.
Senyum bahagia turut mengembang tanpa bisa lepas dari wajah masing-masing.

Banyak orang mencari cara untuk sembuh.

Mereka bertanya ke sana kemari,
membaca buku ini-itu, artikel itu-ini,
namun sejatinya tak pernah berusaha untuk sembuh.

Sabtu, 29 Juni kemarin mungkin menjadi malam Minggu yang berkesan buatku!

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya mengadakan perlombaan bahasa Inggris, dan seminar kepenulisan dengan Faisal Oddang sebagai bintang tamunya.
Sebenarnya, aku belum terlalu kenal dengan karya Faisal Oddang begitu melihat posternya di media sosial sekitar sebulan sebelum acara.
Tapi namanya sudah sering disebut-sebut dalam grup kepenulisan. Dan tercantum di kolom editor pada beberapa buku puisi.
Tanpa pikir panjang, aku langsung mendaftar sebagai peserta seminar. Kebetulan salah satu teman lamaku menjadi panitia dalam acara ini.

Tiapkali orang-orang berbincang, ceritakan kisah lucu tentang masa SMA mereka,
aku hanya bisa tertawa, tanpa sanggup membalasnya.


Yah, karena memang tak ada banyak hal yang bisa diceritakan mengenai masa SMA-ku.
Ah, lebih tepatnya SMK.
Aku mengambil jurusan Multimedia di salah satu SMK Negeri Surabaya.

Ada banyak suara bergelimang dalam bumi.
Dan telinga–penangkap suara pada manusia–tidak bisa memilih akan mendengar suara apa saja.

Apa boleh aku bertemu kamu
ketika malam menjelang,
dan desir rindu semakin terang?

Apa boleh aku bertemu kamu
tanpa alasan, tanpa tujuan
selain 'tuk melihatmu?

Ya, cuma ingin melihatmu saja
sampai bosan.



Masalahnya, itu mustahil.
Bosan, dan bertemu kamu.




21.25

Kita semua adalah pelukis.
Terlahir dengan kanvas yang sama pada masing-masing easel.

Sama putih, sama besar, juga,
sama-sama selembar.
Jangan harap bisa minta yang baru ketika membuat kesalahan.
Jadi, usahakan jangan sampai membuat kesalahan.

Tapi kita kan manusia yang tak luput dari kesalahan.
Kita tidak sempurna.

Untuk hari (dan hati) ini,
aku berterima kasih banyak padamu
yang masih mau, dan mampu bertahan,
kemudian melepas muntahan pada tempat yang tepat.

image by Pinterest

Selongsong raga,
tanpa asa di dalamnya.

Melesat cepat,
arungi ruang-ruang.