Kenangan di Poli Gigi
25 MaretAku menulis ini dengan harapan bisa lupa dengan rasa cenat-cenut gigi.
Di minggu-minggu sebelumnya, aku datang ke rumah sakit setiap hari Rabu.
Akar gigi geraham kananku rusak dan harus dirawat intensif, dan itu membutuhkan 7-8 kali kunjungan. Beruntung, Rabu kemarin adalah kunjungan terakhir.
Tapi ini bukan akhir, melainkan awal dari tantangan yang sebenarnya *ceileh.
Setelah selesai perawatan geraham kanan, ganti geraham kiriku yang harus dicabut karena sudah membengkak. Ya jelas aja, sih. Geraham kiriku ini udah mulai cenat-cenut sejak UNAS SMK. Bayangin, berapa tahun itu? Hampir 2 tahun, aku makan dengan geraham kanan terus.
Ini kali pertamaku cabut gigi, dan sejak dokter bilang 'gigi kirinya harus dicabut, ya' sekitar 2-3 minggu lalu, itu menghantuiku.
Akhirnya hari ini datang juga, dan aku setengah mati takut ketika diperintahkan duduk di kursi periksa (entahlah apa itu namanya). Apalagi dokter yang menanganiku bukan dokter perempuan yang biasanya, ini dokter laki-laki, nggak ganteng pula *astaga, lupakan*
Setelah melakukan pengecekan singkat, sang dokter memberi suntikan anestesi supaya nggak terasa sakit waktu dicabut. Tapi waktu disuntik, sakitnya beuh, rasanya hampir nangis.
Nggak berselang lama, pipi kiri dan sebagian lidahku terasa tebal. Rasanya seperti bengkak habis digigit serangga :D. Dan dicabutlah gigikuuu~~
Seiring dengan perginya gigi gerahamku, ini juga jadi penanda aku pergi dari rumah sakit ini *apaan sih*.
Ya, ada banyak hal yang bisa kudapat setelah sekian minggu bolak-balik ke rumah sakit ini. Dan beberapa di antaranya sudah kujadikan puisi atau coretan abstrak.
Di sini, kesabaranku mengantre diuji.
Aku mendapat banyak pelajaran hidup baru melalui percakapan-percakapan singkat pada orang di sebelah kiri-kanan kursi tunggu.
Beberapa manusia punya pikiran sempit, meski profesinya menuntut wawasan luas.
Sebaliknya, ada yang tampak sederhana, namun punya pola pikir seluas samudera.
Memang, penampilan dapat menipu.
Selain itu, aku juga mendapat teman baru. Ia biasa menunggu bersamaku di hari Rabu.
Sayangnya, hari ini menandakan bahwa kita takkan bertemu lagi di Rabu, Kamis, Jumat, dan seterusnya.
Mungkin, jika semesta mengizinkan, kami bisa bertemu lagi di momen yang lebih baik.
Terima kasih banyak, Semesta.
0 komentar