Sebuah Percakapan - Menunggu Nomor Antrian
06 MaretMatahari agaknya malu-malu tunjukkan senyumnya pagi ini.
Jam enam lewat empat puluh menit, dan langit masih sendu. Namun aku sudah duduk manis di kursi tunggu ruang pendaftaran Rumah Sakit Bhayangkara.
Ini kali keempat, dan harusnya masih tiga kali lagi, aku datang ke sini untuk mengobati gigi gerahamku yang rusak.
Udara di luar dingin, suhu ruangan ini pun dingin. Bukan karena bekas hujan semalam, melainkan Air Conditioner.
Seorang ibu duduk tepat di sebelahku, sembari mengibaskan kedua tangannya.
"Dingin sekali ya," tukasnya.
"Iya, Bu. Habis hujan juga," jawabku singkat.
Tidak, aku tidak berniat meneruskan percakapan itu karena sejumlah kantuk yang masih tersisa di mataku.
"Duh, lama sekali ya, antreannya," ibu itu membuka suara lagi, kini sembari membenahi kerudung merahnya.
"Iya, Bu. Saya datang pagi-pagi juga dapatnya angka segini." Aku berangkat jauh lebih awal dari sebelumnya, dengan harapan dapat nomor antrean awal, dan bisa segera berangkat ke kantor. Tapi seringkali apa yang kita harapkan berbeda jauh dengan kenyataan, ya. Belum genap pukul tujuh, dan nomor antrean yang kudapat menginjak angka delapan puluh. Sedangkan proses registrasi masih sampai nomor empat puluhan. Oh, baiklah.
Percakapan sederhana antara aku dan ibu berkerudung merah itu beralih menjadi topik yang agak serius. Ia menceritakan secuplik kisah hidupnya yang juga berkaitan dengan antre-mengantre di rumah sakit.
Pernah suatu ketika ia mendapat nomor sembilan ratusan, padahal sudah sampai di tempat sejak jam lima pagi. Itu kala mengantar saudaranya yang terkena kanker stadium empat.
Selain saudaranya, ternyata almarhumah ibunya juga terkena kanker hati. Itu karena sang ibu suka memendam segala sesuatu, selalu tampak sabar di hadapan orang, menahan segala perasaan. Katanya ...
"Perempuan itu sebenarnya kuat, jauh lebih kuat dari laki-laki," obrolan kami sudah tiba di penghujung, karena angka di layar mulai menginjak tujuh puluhan.
"Sekarang penyakit sudah nggak kenal usia, makanya mulai jaga kesehatan, Mbak," tambah ibu itu.
Dan entah mengapa, dalam sekian hari terakhir ini orang-orang di sekitarku suka sekali membicarakan tentang kematian. Aku tertegun.
Sudahkah aku meninggalkan sesuatu yang berharga untuk dikenang mereka-mereka di sekitarku?
Sudahkah aku melakukan yang terbaik untuk orang-orang terdekatku?
Seandainya saja semua berakhir hari ini.
Seandainya saja semua berakhir hari ini.
0 komentar