Sebuah Percakapan - Harta

25 Februari

Jam istirahat masih terlalu jauh tuk dinanti kehadirannya,
manusia-manusia yang sudah gatal bibirnya digigit oleh kebosanan pun berkumpul sejenak.
Ingin mengusir gatal dengan kata-kata, dengan cerita.


"Dulu nenekku punya tanah besar di kota A. Tapi sekarang sudah jadi kebun," tukas seorang ibu 60 tahunan.

"Sudah dibeli tanahnya, Bu?" timpal ibu yang lain. Usia 40 tahunan, punya 3 cucu yang menunggu di rumah.

"Nggak ada yang beli, tiba-tiba udah jadi kebun. Waktu meninggal anaknya nggak ada yang tahu soal tanah itu. Surat-suratnya juga nggak lengkap."

"Loh, kok sayang. Harusnya ya diurus surat-suratnya itu, Bu. Masa nggak punya surat-surat tanahnya?"

"Nggak. Maklum, orang kuno. Nenek saya nggak ngerti masalah begituan."


Aku hanya diam mendengarkan perbincangan mereka. Karena tak mengerti masalah demikian. Lagipula, bibirku tidak gatal. Melainkan telingaku, yang gatal ingin mendengar kisah-kisah inspiratif. Sedang butuh inspirasi, kabarnya.

Sayang sekali, ya, kalau dipikir-pikir.
Sang nenek mengumpulkan harta. Mungkin juga dibantu puasa dari segala inginnya. Puasa dari hobi, bahakan keperluan-keperluan yang berpotensi mengurangi saldo hartanya.
Tapi setelah ia meninggal, harta yang diperoleh sirna begitu saja. Tidak berguna di bumi, juga tidak dibawa mati.

"Lahya, kalau dipikir-pikir buat apa ya, orang bingung ngumpulin harta sampe stress nggak keruan," ucapan ibu enam puluh tahunan tadi menyadarkanku dari lamunan singkat.

"Iya, memang betul apa kata Tuhan Yesus ya. Cukupkan apa yang ada padamu."

"Betul bu, hidup dibuat santai ae, wes. Menikmati apa yang ada."



Ibrani 13:5a
Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.

You Might Also Like

0 komentar

Music

nlart · Maru