Sebuah Percakapan - Ruang Tunggu Rumah Sakit

20 Februari

Baru beberapa jam mentari bangun dan bergantung di langit, sengatannya pun belum genap terasa. Namun puluhan kepala telah memadati ruangan.
Ada yang duduk termangu, menatap dinding dengan bosan. Ada yang sibuk dengan gawainya, tertawa sendiri, cemberut sendiri. Ada juga yang membuka pintu perkenalan, lalu hilang dalam perbincangan.



Yakni kedua kakek tujuh puluh tahunan yang tak kunjung berhenti bicara sejak kepala-kepala belum terlalu banyak jumlahnya.

"Biyen Kutisari iku alas tok (dulu Kutisari itu hutan semua)," ucap kakek bertopi.

"Iyo, biyen tuku tanah koyok tuku jajan (Iya, dulu beli tanah seperti beli jajan)," kakek berbaju hitam menyahuti.

"Sekarang apa-apa serba mahal, mau makan saja susah." Rasanya teks ini lebih mudah kutulis dalam Bahasa Indonesia saja, ya.

"Iya, setiap hari cuma bisa berharap sama anak-anak. Dulu saya membesarkan anak dengan susah payah. Sampai nggak makan, nggak tidur."

"Untung kalo anaknya ngerti. Sampai hari ini anak saya masih rewel terus. Minta motor, minta sematphone (smartphone). Mana uang sekolahnya mahal."

"Betul pak, belum lagi beli seragam. Saya ingat dulu sampai puasa beberapa minggu demi membelikan seragam."

"Tapi rasanya kok sia-sia ya pak, anak saya semakin hari permintaannya semakin macam-macam. Nggak kuat saya."


Suara mereka berdua menggema memenuhi ruangan, meski juga ada banyak bibir di ruangan ini. Hanya saja kebanyakan mereka dikunci rapat oleh gawai-gawainya. Seperti aku salah satunya.

Tak berselang lama, obrolan itu surut. Kusempatkan diri melirik, karena suasana jadi agak hening tanpa suara mereka. Meski mengganggu, tapi aneh juga ya kalau hilang.


Oh, ternyata yang satu sedang tidur pulas.
Tapi kenapa semua jadi panik? Dia cuma tidur, kan?

You Might Also Like

0 komentar

Music

nlart · Maru