Hujan, Rumah, dan Bersyukur

21 Maret


Langit tiada henti meneteskan airnya, membasahi seluruh sudut kota Surabaya.
Beberapa ruas jalan dijadikan tempat berkumpul oleh rintik hujan yang tak kebagian tempat.
Beberapa lainnya dijadikan tempat tinggal sementara, sebelum mentari menyapu rintik-rintik itu.

Mereka bilang, saat hujan uap panas di bumi tertindas oleh air hujan. Maka angin membawa dingin.




Aku terduduk di atas motor, menunggu lampu hijau menyala seraya menikmati udara dingin yang menusuk-nusuk. Mendadak aku jadi suka dengan warna hijau dan berharap lampu segera menyala dengan warna favoritku.

Namun semua tidak menjadi lebih baik setelah lampu hijau menyala.
Meski sudah dibalut seuntai jaket, dingin masih mampu menyentuh tubuhku. Empasan angin semakin terasa beriringan dengan naiknya jarum speedometer.


Pada cuaca ini, rumah jadi tempat ternyaman sekaligus teraman.
Rintik hujan semakin banyak ketika aku sampai di rumah. Beruntungnya, telah kutemukan kehangatan. Bukan karena bangunan saja, karena aku benar-benar ada di rumah.

Bersyukur jika sampai hari ini aku masih memiliki tempat untuk berpulang.
Bersyukur jika sampai hari ini, masih ada yang menantiku pulang.
Bersyukur jika sampai hari ini, ada tempat bagiku untuk berlindung dari terik mentari dan dinginnya embusan angin hujan.

.


Seringkali kita lupa untuk bersyukur atas hal-hal kecil yang mungkin tampak sederhana,
namun tak semua orang memilikinya.
Seringkali kita lupa untuk bersyukur atas hal-hal yang menjelma jadi kebiasaan.
Hingga semua terasa biasa-biasa saja.
Padahal sebagian lainnya menganggap itu sebuah kemewahan.

Meski kecil, sempit, kotor, jelek,
tak ada tempat lain yang begitu menerimamu, menantimu, menyambutmu pulang
kecuali rumah.
.



Jangan lupa bersyukur!

You Might Also Like

0 komentar

Music

nlart · Maru