Semakin Tua, Semakin ...

29 Maret

Usia tak jadi penentu kedewasaan seseorang.


Siapa pernah mendengar kalimat itu? Saya rasa kalimat itu cukup populer untuk sampai ke telinga manusia se-Indonesia.
Kalimat ini bukan sekadar rangkaian kata tak berisi yang biasa ditempel pada dinding-dinding, status Whatsapp, atau caption Instagram. Kalimat ini sudah teruji keabsahannya dan hampir seratus persen benar.

Para kaum muda beranggapan bahwa mereka yang lebih tua, punya lebih banyak pengalaman hidup di dunia, mereka lebih tahu dan paham tata cara hidup berdampingan dengan manusia lain.
Bukankah dalam pelajaran PPKn saat SD dulu kita juga sudah sering diajari? Bahwa setiap manusia memiliki hak bebas, dan bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Karena kita hidup dikelilingi oleh manusia lain, dan hak antar individu dengan individu lainnya saling berbatasan.
Kita diajari untuk tidak menyetel radio/TV keras-keras di jam tidur siang/jam ibadah orang lain. Kita diajari untuk menghargai hak orang lain berbicara, hak berpendapat, dan lain sebagainya.

Bukan hanya dibacakan, atau disebut oleh guru di depan kelas, kita bahkan wajib menghapal hal-hal sepele tersebut karena masuk dalam kisi-kisi Ulangan Harian. 

Yah, mungkin beginilah hasilnya jika hanya menghapal namun tidak mengerti. Semua hanya menjadi kata-kata yang mampir sebentar di lorong otak, lalu keluar berwujud tulisan di kertas ujian, dan hilang tak bersisa selepas ujian. 

Ditambah dengan stigma dari para pendahulu yang menganggap anak kecil tahu apa?
Anak harus menaati orang tua, dan jika orang tua salah, kembali ke kalimat pertama. (Bukan sebatas konteks anak yang dibahas di sini, melainkan rentang umur, orang tua dan anak muda).

Memang benar, sudah wajib hukumnya orang muda taat pada yang lebih tua. Karena mereka ada lebih dulu di bumi, orang muda adalah penduduk baru. Hanya saja, hal itu seringkali memicu timbulnya rasa superior di benak para pendahulu, dan rasa minder, takut tak beralasan pada penduduk baru.

Lagi, seperti yang pernah diajarkan dulu pada pelajaran PPKn. Orang muda harus menghormati orang tua, dan sebaliknya orang tua harus menghargai orang muda. Naasnya, dalam banyak kasus orang tua tak mau menghargai orang muda, begitu juga yang muda kurang ajar pada orang tua. Akibatnya masing-masing mulai bertindak sesuka hati, tak merisaukan perihal norma-norma itu lagi.

Tak usahlah membahas yang tua-yang muda dulu. Pada usia yang sama pun, belum tentu mereka bisa memperlakukan seseorang seperti manusia dengan hak bebasnya.

Rasa individualistis mulai mencuat, dan semakin kuat. Manusia mementingkan diri sendiri, haknya, kesenangannya, tak peduli itu merenggut hak orang lain atau tidak, mengganggu orang lain atau tidak. Mereka menyetel lagu terlampau keras, padahal tak semua orang suka dengan lagu yang diputarnya. Mereka menyetel pidato keras-keras di ruang kerja, pada jam kerja, membuyarkan konsentrasi orang se-kantor.
Tanpa ada yang menanam, timbul buah simalakama. Mau menegur, tak enak, tak ditegur, lebih tak enak lagi. Pilihannya hanya satu.
Sabar.

Lalu apa gunanya kita mengklasifikasikan panggilan berdasar umur. Kak, Tante, Om, Oma, Opa, Kakek, dan seterusnya jika panggilan itu hanya berguna bagi tubuh fananya saja, tidak dengan moral dan pikirannya yang diharapkan sesuai dengan panggilan itu?

Maka kita semua harus introspeksi diri. Jika tak mau diperlakukan demikian, jangan melakukannya. Perhatikan orang-orang sekellilingmu, apakah mereka terganggu atau tidak? Pikirkan hak orang lain yang terenggut karena keegoisan kita. 
Apa kita tidak marah jika hak kita yang direnggut?


Jangan memikirkan tubuh yang bertambah tua, pikirkan isi pikiran yang juga harus bertambah. Supaya semua berjalan beriringan dan seimbang.




-hanya wujud kegemasan. jangan tersinggung-

You Might Also Like

0 komentar

Music

nlart · Maru