Resensi-resensian : Petir

13 Mei

*pose andalan*

'Kita tidak memiliki apa-apa, Elektra. Kita hanya peminjam yang berpikir bahwa kita ini pemilik. Lucunya, ketika kita bersikap eksklusif, kepemilikan kita sangat terbatas. Sementara kalau kita sadar semua ini cuma pinjaman, mendadak kita bisa mendapatkan apa saja.' (h. 143, ucapan ibu Sati).


Saya ingat, dulu pernah membaca preview Supernova seri Petir ini dalam versi digital, ketika belum memiliki versi cetaknya.
Kisah Elektra, gadis unik pecinta petir membuat saya tertarik untuk memiliki versi buku, dan membacanya sampai tuntas, tentunya.
Dan, sesuai harapan, buku ini sangat bagus!


Diawali dengan secuplik kisah Elektra ketika masih tinggal bersama kakak, juga Ayahnya yang membuka toko elektronik di rumah, nasib Elektra kemudian berubah sepeninggalan Ayahnya. Menjadi makin buruk dan mengkhawatirkan.
Lulusan sarjana, pengangguran, hanya bertahan hidup di rumah peninggalan ayah, beserta segala tabungan sisanya. Yang saya yakin hal ini juga dialami banyak lulusan sarjana di Indonesia, pengangguran.

Bukan hanya itu, Elektra pun dianggap memiliki sakit epilepsi, sering direndahkan oleh kakak kandung yang sudah menikah dengan pria mapan, dan punya hidup yang juga mapan.
Tidak ada tujuan, Elektra tampak memiliki masa depan suram.
Persis dengan saya yang juga seringkali resah jika ditanya perihal tujuan hidup.

Singkat cerita, terjadilah pertemuan demi pertemuan yang mengubahkan nasibnya seiring waktu berjalan. Elektra yang tinggal sebatang kara, kolot, pengangguran, kemudian berubah total, menjadi seorang pengusaha sukses, dengan banyak sahabat yang jadi keluarga keduanya.


Saya masih tak mengira, bukunya kok udah habis aja. Diakhiri dengan kisah cinta Elektra dan Mpret yang entah bagaimana kejelasannya, bahkan hubungan saudara Mpret dengan Bong yang entah bagaimana juga maksudnya. Ending-nya menggantung, membuat saya penasaran dan ingin segera tahu bagaimana kisah Supernova seri selanjutnya, Partikel.

Membaca buku ini, rasanya tidak seperti membaca novel fiksi, melainkan seperti membaca sebuah buku harian komplit dengan kisah sukses sang pengusaha ternama-Elektra. Saya kagum dengan penokohan yang begitu kuat, semua tokoh terasa begitu hidup dan nyata, begitu juga dengan setiap kejadian, setiap pertemuan yang ada, terasa begitu alami. Sampai-sampai saya juga tak sadar kalau Elektra sedang dan sudah bertransformasi menjadi gadis yang sangat berbeda dari sebelumnya.

Berbeda dengan seri sebelumnya—Akar—, seri ini jauh lebih ringan dibaca untuk saya, mungkin karena latar belakangnya di Indonesia, dan tokoh utamanya perempuan ya. Saya bahkan hanya membutuhkan sembilan hari untuk melahap buku ini, sedangkan seri sebelumnya sampai sebulan lebih.


Dari kisah Elektra ini, saya belajar, bahwa tidak ada yang tidak sengaja. Semua hal yang terjadi karena ada sebab dan akibatnya. Begitu pula dengan pertemuan, dan perpisahan. Tidak ada yang bisa menduga, akan bertemu dengan siapa, dan tidak ada yang bisa menduga, siapa yang kita temui akan berperan apa dalam hidup kita. Kepanikan mencari tujuan hidup tidak akan membuat kita semakin dekat, bahkan semakin jauh dari tujuan itu. Dan seperti yang ibu Sati katakan, setiap orang punya potensi dalam dirinya. Setiap kita ada karena suatu makna. Apa itu? Biar waktu yang menjawabnya.
Lakukan saja yang terbaik dalam segala hal, maka biar segala hal dalam semesta yang menjawab pertanyaan itu.

Selamat membaca!





Quotes :

- Waktu adalah uang, tapi waktu yang terlalu luang adalah bentuk lain dari kemiskinan. Dan orang miskin dapat berontak tanpa takut kehilangan apa-apa. (h.11)

- Aku baru tersadar bahwa kata-kata yang tersimpan dapat membusuk hingga kawanan belatung menggerogotimu dari dalam. (h. 24)

- Namun kuberitahukan hal ini kepadamu, wahai kawan. Pada saat engkau mengira telah berhasil menebak logika hidup, pada saat itulah ia kembali memuntir dirinya ke arah tak terduga dan jadilah kau objek lawakan semesta. (h. 47)

- Rasa takut ternyata memiliki magnet sama besar dengan rasa suka. (h. 67)

- Alam tidak pernah berhenti membersihkan dirinya. Dan kalau kamu sadar bahwa kita sepenuhnya bercermin pada alam, kamu bisa lebih mengenali diri kamu sendiri. Setiap orang punya potensi dalam dirinya. (h. 99, ibu Sati)

- Mungkin saya bukanlah orang yang paling sempurna untuk jadi pembimbing kamu, tapi percayalah, setiap pertemuan pasti memiliki maksud yang sempurna. Untuk kamu, saya ada. Dan untuk saya, kamu ada. Kita hadir untuk menyempurnakan satu sama lain. (h. 139, ibu Sati)

- Kebenaran memang sukar dicerna. Semua orang memiliki kemampuan digestif yang berbeda. (h. 140)

- Dalam realitas dualitas ini, tidak ada yang absolut. Segalanya relatif tergantung pada sudut pandang sang subjek. Yang berarti juga, segalanya hadir berpasangan. Ada kiri, berarti ada kanan, ada tinggi berarti ada rendah, ada positif berarti ada nega...? (h. 142, ibu Sati)

- Banyak hal yang nggak perlu kedengeran bunyinya tapi kelihatan tindakannya...(h. 185, Mi'un)

You Might Also Like

0 komentar

Music

nlart · Maru