Tentang Gitar dan Dia

04 Agustus


available on wattpad.com/clarissaclaa


          Petikan gitar terdengar. Mengalun begitu indah, dan menghanyutkan.
Sang pemain yang begitu mahir tampak sangat menghayati, menjiwai permainannya.
Rambut hitam panjang nan indah yang kontras dengan gitar putih, juga bibir ranum yang sesekali tersenyum menambah nilai estetis penampilan itu.



PROK ... PROK....!

          Aku tersenyum di akhir permainan, tak lupa juga sedikit membungkukkan tubuh. Sebagai tanda terima kasih atas tepukan meriah itu.

Mereka semua tersenyum. Mereka yang menyaksikan dan mendengarkan permainan gitarku. Walau ada beberapa siswa yang lebih peduli dengan bola voli, cerita serial India yang semakin rumit, atau antrean bakso Pak Abdul yang terkenal paling enak di sekolah ini.

          "Wah, hebat! Itu tadi penampilan Alice dari kelas 12-2!"

          "Yuk kasih tepuk tangan sekali lagi!"

Kedua MC kembali menguasai panggung, acara pensi pun berlanjut dengan penampilan yang bagiku membosankan. Bukan berniat sombong, kenyataan memang seperti itu.


          Sejak tahun lalu, pensi sekolahku selalu sama. Hanya menampilkan eskul-eskul sekolah yang tampak kurang latihan. Sangat berbeda dengan penampilan ketika masa orientasi. Ketika masing-masing eskul mempromosikan diri, berusaha menarik perhatian adik-adik kelas supaya bergabung dengan mereka.
Sekolahku tidak pernah mengundang artis yang sedang hits seperti sekolah-sekolah lain.
Paling maksimal, sekolahku hanya mengundang penyanyi lokal yang tidak diketahui 90% siswa.

Menyedihkan.


Jadi setelah pentas, aku segera membereskan barang-barangku dan melangkah pulang. Walau pensi baru akan berakhir setelah tiga penampilan lagi.

          "Yang tadi keren! Buat someone, ya? Kamu keliatan menjiwai banget!" seorang laki-laki menyapaku. Dia adalah kakak pembina eskul musik. Dia yang membantuku memahami benda berdawai ini.

          "Ah, itu, aku cuma berusaha yang terbaik aja," aku tersenyum tipis.

          "Beneran? Nggak buat someone? Katanya terinspirasi someone buat main gitar." Dia tersenyum jahil. Pria yang memang banyak bicara dan selalu ceria. Jeremy namanya.

          "Udah, Kak. Aku pulang, ya." Betapapun ia mengajakku bicara, aku selalu tak bisa banyak bicara. Karena aku memang tidak terlalu suka bicara. Aku seorang gadis pemalu.

Mungkin kalian heran, bagaimana seorang gadis pemalu bisa tampil di atas panggung dan tidak takut dengan keramaian yang ada? Biar kujelaskan.

          Aku memang suka menjadi pusat perhatian. Hanya jika gitarku yang perlu bersuara di sana. Tidak denganku.
Jika di atas panggung, aku tidak perlu banyak bicara, tidak perlu bersuara. Gitar putih ini yang akan menggantikan tugasku.


You can never say never
while we don't know when
but time, time, time again
younger now than we were before
don't let me go
don't let me go
don't let me go

          Walau beberapa menit lalu aku baru saja bermain gitar, sesampainya di rumah aku kembali memainkannya. Di atas kasur, tepat di depan jendela yang terbuka dengan pemandangan langit biru cerah yang dipenuhi awan putih, dan hiruk pikuk kota.
Rumahku ada di sisi jalan yang padat, dan kamar serba light blue ini ada di lantai dua. Jadi pemandangan jendelanya tidak membosankan bagiku.

          "Apa alasanmu sebenarnya main gitar?"

          "Pokoknya aku terinspirasi seseorang."

Jeremy, kakak pembimbing eskul musik itu selalu menanyakan hal yang sama berulang-ulang kali. Hingga aku bosan dan menjawabnya dengan kalimat itu. Jawaban yang memang jujur.
Dan sejak hari itu, ia terus menggodaku dengan mengatakan someone, someone setiap hari. Setiap aku bermain gitar.

          Menganggu, tapi itu memang alasan utamaku bermain gitar. Bukan karena hobi belaka. Melainkan karena kenangan di dalamnya.
Kenangan yang ingin kukenang selalu.



          Tiga tahun lalu, di tahun terakhir SMP.



          Aku jatuh hati pada seorang pria. Karena benda berdawai ini.




          Dia tidak tampan. Permainan gitarnya pun biasa. Hanya kunci dasar.
Bukan juga suara indahnya yang membuatku jatuh hati.
Dia biasa. Sangat biasa.
Dave namanya.

          Rumahku dan rumah Dave hanya berjarak beberapa rumah, dan berseberangan.
Setiap petang, ia duduk di teras rumahnya, dengan gitar akustik. Perlahan ia mulai memetik benda itu, dan bernyanyi.
Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya. Bukan karena suara indah yang membuatku terpesona. Bahkan suaranya sering fals di nada-nada tertentu. Atau yang lebih parah, berbeda jauh dengan nada gitarnya.
Aneh jika aku jatuh hati padanya, bukan?

         Namun di suatu malam, aku demam tinggi. Kepalaku pening, tubuhku lemah, dan aku tak kunjung bisa terlelap walau sudah berusaha memejamkan mata sekian lamanya.
Kemudian, suara gitar itu terdengar.
Begitu lembut, begitu indah. Dengan suara khasnya, seperti vokalis Armada yang sedang terserang batuk-batuk. 

Aku mengintip dari jendela.
Benar. Pria itu yang bernyanyi dan memainkan gitar.
Entah mengapa, permainannya malam itu berbeda dengan sebelumnya. Tidak ada kunci yang salah, tidak ada nada yang fals. Semuanya pas.
Alunan gitar dan nyanyiannya malam itu mampu membuatku terlelap.

Lagu yang dinyanyikannya adalah lagu yang baru saja kunyanyikan.


          Sejak hari itu, permainan gitarnya membaik. Nyanyiannya pun ikut membaik. Sepertinya ia sudah berlatih keras.
Mungkin terdengar biasa bagi orang lain, namun aku melihatnya dengan cara yang berbeda.
Aku tak bisa berhenti mengamatinya sejak hari itu.
Ia begitu bersinar.

          Selama setahun penuh aku menjadi penggemar rahasianya. Bahkan jika ia menggelar konser tunggal, aku akan menjadi orang pertama, dan berdiri di paling depan untuk menyaksikan dan mendengarkan alunan gitarnya.
Selama setahun pula aku menyukainya dalam diam. Kami tak pernah saling menyapa, apalagi berbincang.

Aku memang tidak suka banyak bicara sejak dulu. Jadi dia dan aku tidak pernah saling mengenal selama satu tahun. Mungkin ia sekadar tahu namaku, ingat memiliki tetangga berwajah sepertiku. Tidak lebih.


          Dan seperti kisah-kisah klasik mainstream. Kepindahan rumah setelah aku lulus SMP jadi pemisah. Aku kehilangan jejaknya sama sekali.
Jelas saja aku kehilangan jejaknya. Kami tidak pernah bertukar nama, apalagi bertukar nomor ponsel atau alamat rumah.

          Aku rindu pada suara khasnya.
Bahkan aku selalu memuja laki-laki yang bisa bermain gitar. Itu terlihat keren.
Seperti Dave.

Melalui suara petikan gitar, aku dapat merasa kehadirannya lagi.
Jadi aku mulai belajar. Perlahan namun pasti. Dan sampailah pada hari ini.
Kuharap aku dapat bertemu denganmu suatu saat nanti, Dave.


STASH!

Mendadak salah satu senar gitarku putus. Aah, kenapa harus putus, sih? Aku masih ingin bermain gitar. Dan aku terlalu malas untuk keluar rumah dan membeli senar yang baru.

          Kak, msh ada di luar gak? Aku mnta tolong T^T

Mungkin Jeremy bisa membantuku. Biasanya dia masih berkeliaran di jam ini.

          Mnta tolong apa, dek? Kbtulan mau keluar ke toko musik.

Pas sekali!


          Nah, pas bgt Kak! Senar gitarku putus. Titip beliin dong. Terserah pkknya yg bagus. Bsk uangnya aku ganti.

          Ikut aja yuk biar tw skalian senar yg bagus. Aku jmpt ya. Otewe.

          Loh Kak, aku titip aj. Lg ngerjain pr buat bsk. Prnya byk.


Aku beralasan.
Sebenarnya aku hanya sedang malas keluar rumah. Dan Jeremy tidak membaca pesan Line ku yang terakhir. Mau tak mau aku harus pergi.


          Sampailah kami di toko musik. Aku dan Jeremy.

          "Kamu belum pernah ke sini ya? Di sini tempat langgananku, murah-murah tapi juga kualitasnya bagus." Seperti biasa, Jeremy akan berceloteh ria. Sementara aku hanya menjawabnya dengan 'ya', atau anggukan.

          "Nih, lain kali kalo butuh senar, beli yang kayak gini ya. Ini suaranya bagus, tahan lama, sponsornya Sung Ha Jung. Tau, kan?"
Jeremy memberikanku sebuah kotak berwarna ungu dengan tulisan 'Elixir' di bagian tengah. Pertanyaan darinya lagi-lagi kujawab dengan anggukan.

          "Ya udah, tungguin aku keliling-keliling dulu nggak pa-pa, kan?"

          "Iya, Kak."
Setelah itu Jeremy tampak asik sendiri. Sepertinya ia akan membeli gitar baru.

          Dari sekian alat musik band, pria itu paling mahir memainkan gitar. Dia bisa memainkan banyak lagu-lagu klasik yang biasa dimainkan dengan piano. Bagiku ia seperti Sung Ha Jung kw.
Mengetahui aku ingin fokus mempelajari gitar dan tidak bergabung dengan band, ia langsung menawarkan diri untuk mengajariku.
Aku juga harus berterimakasih banyak padanya. Tanpa dia, aku tidak mungkin bisa memahami gitar.


BUKK!

          "Aw....!"
Seseorang menabrakku. Atau mungkin aku yang menabraknya. Entahlah.

          "Eh, maaf. Saya buru-buru. Ini punya kamu, ya?"

DEG!


...



Seorang pria berdiri tepat di hadapanku. Tangan kanannya memegang kotak ungu yang sempat terlepas dari genggamanku.

...


Dia...

...


          "Ehmm ... kok kayaknya kita pernah ketemu ya?"

...

Jantungku berdegup kencang.
Dia mengenaliku.


          "Err ... rumah kita dulu berseberangan."

Dia Dave.


...


          "Oh, ya! Bener-bener! Aku lupa. Kita belum pernah kenalan ya? Namaku Dave. Kamu?" dia menyodorkan tangannya.

          "Aku Alice." Semoga dia tidak menyadari bahwa tanganku bergetar.

          "Ooh, masih sekolah ya? Kelas berapa?"

          "Kelas 12." Oh kenapa, aku tidak bisa banyak bicara? Padahal aku ingin sekali menanyakan banyak hal.

          "Wah, bentar lagi lulus, dong! Aku baru lulus kuliah  tahun ini."

Mungkin ia masih ingin berbicara, namun dering ponselnya menghentikan itu.

          Setelah beberapa lama tidak bertemu, ternyata tidak ada banyak perubahan.
Rambutnya masih sama hitam, hanya sedikit panjang. Manik hitam itu juga masih terlihat berbinar indah. Wajahnya terlihat semakin tampan bagiku.
Oh, Tuhan, berikan aku kesempatan untuk bersamanya lebih lama lagi. Berikan aku waktu untuk mengamati setiap senti wajahnya lebih lama lagi.


          "Wah, terlambat!" ucapnya.

          "Memang mau ke mana, Kak?" akhirnya sebuah kalimat terucap dari bibirku. Sungguh sulit untuk melakukannya.

          "Hari ini aku mau ngerayain anniversary satu tahun sama pacarku. Aku mau kasih surprise, aku duluan, ya!" dia melangkah pergi ke kasir. Dengan gitar akustik putih di genggamannya.


....



Harusnya aku tidak menyimpan perasaan ini.



Besar kemungkinannya akan berakhir dengan seperti ini.

Aku yang tersakiti sendiri.
Menangis sendiri. Dan menyesal.


Dia tentu tidak tahu penderitaanku.



Dia tentu tidak tahu bahwa aku selalu mengenangnya selama ratusan hari.
Dia tentu tidak tahu, aku bahkan sampai mempelajari gitar dengan begitu rupa. Hanya untuk mengenangnya.

Dia tentu tidak tahu apa-apa.


Namaku saja baru tahu hari ini.



Bodoh.


Sangat bodoh.



Aku sudah kehilangan keinginan untuk bermain gitar.
Aku berkeinginan untuk menghancurkan gitarku.


Aku tidak butuh kotak ungu membosankan ini!


          Kak, aku plg dulu. Mendadak ada urusan, maaf.

Aku harus segera pulang sebelum air mata ini tumpah!



          "Alice, aku paham. Aku tahu siapa yang kamu maksud selama ini. Tolong, jangan berhenti main gitar karena ini. Biarkan aku yang jadi alasanmu bermain gitar. Biar aku yang mengganti posisi dia. Boleh, kan?"

Jeremy menopangku yang lemah dan penuh air mata.

You Might Also Like

0 komentar

Music

nlart · Maru