17-18 y.o

12 Juli

cr: deposit photos
"Ngko ae lek wes umur pitulas." (Nanti saja kalau sudah umur tujuh belas)
"Ndang umur pitulas, ndang gawe SIM." (Cepat-cepat berumur tujuh belas, cepat-cepat membuat SIM)

Acapkali beberapa kalimat itu terucap dari bibir teman-teman sebaya.
Kebetulan, saya tinggal di Jawa Timur. Tepatnya, Surabaya. Yang notabene menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Jadi kira-kira seperti itulah kalimat yang terdengar.

Setelah saya berumur delapan belas tahun, lulus dari SMK, dan menghadapi kenyataan beserta segala kegalauan yang ada, timbullah beberapa pertanyaan di benak.

Apa sih hebatnya berusia tujuh belas tahun?
Menerima KTP? Lalu bisa mengurus SIM? Supaya tidak was-was jika ada operasi polisi pada pengendara motor?
Sekiranya itulah alasan beberapa teman saya yang sudah tidak sabar menjadi 17 tahun.

Apalagi, pihak sekolah saya memberi fasilitas lapangan parkir yang aman dan menggratiskan biaya parkir bagi setiap siswa yang memiliki SIM.
Jika tidak punya?
Maka siswa harus parkir di lapangan luar sekolah. Dengan biaya Rp 2000 untuk satu kali parkir. Juga resiko kerusakan, bahkan kehilangan beberapa bagian motor.

"Rong ewu kok njaluk slamet?" (Dua ribu, kok minta selamat?)

Itulah kalimat yang akan terdengar jika kita melakukan protes atas kerusakan bagian motor.


Oke, berpindah dari masalah parkir.
Dalam rentang usia 17 hingga 18 tahun, saya mulai merasakan beberapa kegalauan yang luar biasa.
Kegalauan itu kian terasa setelah saya resmi dinyatakan lulus dari SMK.


Tujuh belas tahun, itu bukan sekadar usia. Bukan sekadar menerima KTP, memiliki SIM, mendapat hak memilih dalam Pemilu-pemilu yang diselenggarakan negara.
Menjadi tujuh belas tahun bukan tentang pesta megah untuk merayakan berakhirnya masa kanak-kanak dan memasuki era remaja menuju dewasa.
Tidak! Menjadi tujuh belas tahun tidak semudah itu. Menjadi tujuh belas tahun tidaklah sederhana.

Apalagi setelah menginjak usia delapan belas tahun, setelah lulus dari SMA/SMK.
Semua itu tidak hanya tentang usia. Usia yang sudah memperbolehkanmu datang ke konser-konser tertentu berlogo 18+. Atau usia yang sudah mengizinkanmu untuk membuka situs-situs dewasa.
Tidak! Jangan mempermainkan hak itu!


Ini adalah usia di mana rasa tanggung jawab yang sebenarnya mulai muncul.
Ada beban yang lebih berat di pundak.
Ini adalah persimpangan dengan banyak pilihan yang membingungkan.

Di usia ini kita diharuskan untuk memantapkan pilihan, memilih jalan yang tepat untuk masa depan.
Melanjutkan studi? Bekerja? Menganggur sejenak? Atau mungkin menikah?
Akan ada banyak pilihan yang disuguhkan.


Ini sebenarnya merupakan curhatan pribadi saya yang merasa bimbang di masa ini.
Jalan mana yang harus saya pilih? Bagaimana jika memilih yang ini? Bagaimana jika yang itu?
Saya benar-benar bingung harus memilih yang mana ketika sudah benar-benar lulus.
Jalan di depan seakan benar-benar buram. Karena saya sendiri tidak tahu apa yang benar-benar menjadi passion saya.
Sangat sulit.


Beruntung, jika ada mereka yang mengetahui passion-nya sejak dini. Ditambah dengan dukungan moril serta materiil yang pas.
Kadang saya merasa ciut sekali melihat mereka yang seperti itu.

Ada beberapa hal yang menjadi penyesalan saya selama ini.
Mengapa saya memilih untuk menjadi pribadi yang seperti ini, mengapa saya sepertinya kurang menikmati masa SMK. Mengapa begini-begitu.
Namun semua tinggalah penyesalan. Tidak ada gunanya.


Inilah rasanya menjadi delapan belas tahun. Tidak semudah yang dibayangkan.
Ada beberapa kebebasan, beberapa hak istimewa yang diperoleh. Namun juga ada sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi.



Time is SUPER precious!

You Might Also Like

0 komentar

Music

nlart · Maru