Indonesia Tidak Peduli Pendidikan?

26 Juli






Membaca tulisan diatas mungkin membuat sebagian dari kita merasa iri.

'Kapan Indonesia bisa seperti itu? ... Yuk pindah ke sana! ... Wah, kemendikbud harus tau nih'

Itu sebagian kecil dari ratusan komentar yang ada saat gambar tersebut di post oleh Wow Fakta di Instagram.
Tapi ada satu komentar yang menarik perhatian saya.
Komentarnya cukup panjang, tapi intinya 'Indonesia, apa peduli pendidikan?'

Nah, kali ini saya mau menyanggah komentar tersebut. Sekaligus menilik lebih jauh seperti apa rupa dunia pendidikan di negara ini.



Bagaimana menurut pendapat teman-teman?
Apakah Indonesia peduli terhadap pendidikan ?


Kalau menurut saya pribadi, Indonesia masih setengah-setengah dalam membangun dunia pendidikan.
Di sisi satu, bisa di anggap peduli terhadap pendidikan.
Dilihat dari sekolah-sekolah negeri yang ada, baik SD, SMP maupun SMA yang tidak menarik biaya SPP per-bulannya. 

Walau biaya sekolah di gratiskan, tapi tetap saja siswa harus mengeluarkan biaya sendiri untuk membeli seragam, buku, terutama untuk anak-anak SMK, harus mengeluarkan biaya setiap ada praktik di mata pelajaran produktif.
Dan semua itu tidak murah, tetap saja membebankan mereka yang kurang mampu.






https://goo.gl/f3pH9X



Kalau dilihat secara keseluruhan, pembebasan biaya SPP memang sangat amat meringankan orang tua siswa.
Tapi, banyak dari siswa yang malah merasa mentang-mentang.

'Halah, nggak bayar aja loh, nggak naik ya nggak pa-pa.'

Saya yang bersekolah di SMK negeri sering mendengar kalimat tersebut.
Ironis sekali.

Ratusan juta uang negara sudah dipakai untuk membiayai anak-anak bangsa supaya bisa mengenyam pendidikan yang baik. Malah disalahgunakan seperti ini.
Lalu kalau begini, siapa yang patut disalahkan?
Pemerintah yang membebaskan biaya SPP?  Siswa?  Orang tua siswa?  Atau bahkan para tenaga pendidik?



Di sekolah negeri, saya menemukan atmosfer belajar yang sungguh berbeda.
Banyak dari siswa yang malas-malasan belajar. Sepertinya mereka berangkat ke sekolah hanya untuk main-main, bukan untuk belajar.
Bukan satu-dua siswa yang seperti itu. Tapi hampir 80% dari keseluruhan siswa bersikap seperti itu.
Tentu ini membawa pengaruh buruk bagi 10% siswa yang memang sungguh-sungguh ingin belajar.


Dari fakta itu, saya menemukan kesalahan struktur dalam penerimaan siswa. Khususnya untuk sekolah negeri.
Nilai Nem (nilai UN) yang baik, menjadi tolak ukur setiap sekolah negeri dalam menerima peserta didik.

Saya bersyukur, nilai nem saya cukup untuk bisa masuk ke salah satu sekolah negeri yang cukup terkenal di Surabaya.
Pada hari pendaftaran, saya melihat teman-teman yang mendaftar memiliki nem yang tinggi-tinggi. Saya mengira, tentu suasana kelas nanti menyenangkan. Karena dipenuhi oleh mereka-mereka yang semangat belajar.

Tapi nyatanya, tidak seperti itu.

Nilai UNAS matematika hampir mencapai angka sembilan, tapi hasil dari negatif dikali negatif saja bingung.
Lalu dari mana angka sembilan itu?







http://goo.gl/U3LrSW



Pemerintah selayaknya melihat fakta yang ada.
Bahwa nilai Nem tak dapat dijadikan titik ukur. Baik melihat pandai-tidaknya siswa, maupun titik ukur dalam penerimaan siswa.
Karena nilai itu tak selalu didapatkan dari hasil keringat sendiri.

Dalam pelaksanaan Ujian Nasional sendiri juga masih terdapat banyak kecacatan.

Sungguh disayangkan kalau akhirnya fasilitas dari pemerintah yang membutuhkan uang ratusan juta bahkan hinggal trilyunan terbuang sia-sia untuk mereka-mereka yang sebetulnya tidak serius sekolah.
Mereka-mereka yang hasil UNAS nya baik karena kunci jawaban, dan tak memiliki semangat belajar.

Sedangkan masih banyak yang memiliki semangat belajar tinggi namun nilai UNAS nya jelek.




Lalu, apa kaitannya dengan komentar tadi ?

Cobalah untuk berpikir.
Pemerintah yang masih membiayai setengah-setengah saja tak dihargai seperti itu.
Bagaimana kalau sekolah di gratiskan sampai S3?
Tidakkah tindakkan itu hanya membuang-buang uang negara saja?
Negara membiayai mereka-mereka yang tidak ingin sekolah.


Mungkin yang perlu diubah terlebih dahulu adalah paradigma masyarakat.
Kalau memang mau sekolah, sekolah yang baik. Dan pilih langkah yang tepat.
Apakah ingin masuk SMK atau SMA? Jurusan IPA atau IPS?
Jurusan Perhotelan atau Pariwisata?
Dan seterusnya.

Ada baiknya juga bila pemerintah mengubah struktur penerimaan murid baru.
Tidak berdasarkan nilai Nem, tapi berdasarkan kesungguhan calon siswa.
Dan pihak sekolah juga harus berani untuk mengeluarkan siswa-siswa yang tidak niat belajar, apalagi sampai mengganggu proses belajar mengajar.



Mungkin sekian yang ingin saya sampaikan pada artikel kali ini.
Saya sungguh berharap ada perubahan dalam dunia pendidikan di negeri ini.
Supaya semakin hari, pendidikan di Indonesia semakin baik.

You Might Also Like

0 komentar

Music

nlart · Maru