Penjual Susu Kedelai

19 Juli

Gerobak itu terparkir hanya beberapa langkah dari teras rumahku.



Suara nyaring bapak penjual yang kadang mendendangkan lagu atau sekadar berceloteh ria seringkali terdengar jelas dari rumahku.
Tapi tidak, aku tidak pernah terganggu akan itu.

          Dia adalah seorang lelaki berusia limapuluh tahunan.
Ada seorang istri dan anak laki-laki kecil yang hidupnya bergantung dari hasil jualan susu kedelainya setiap hari.

Tubuhnya gempal, kaki kirinya sedikit pincang karena penyakit asam urat akut yang dideritanya.
Namun ia masih mampu tertawa. Atau bernyanyi riang seraya menuangkan cairan putih ke dalam plastik untuk dibawa pembeli.

          Dia seorang pahlawan super sesungguhnya bagi anak-anak penghuni gang sebelas.
Ketika ada anak yang menangis di pinggir jalan karena rantai sepedanya bergeser hingga tak bisa dikayuh lagi, ia akan langsung turun tangan membantu. Tidak peduli tangannya akan menjadi hitam karena oli.

          Dia seorang yang panjang sabar.
Rela menggeser gerobaknya beberapa meter demi memudahkan tetangga yang hendak memutar balik mobilnya. Bahkan di bawah teriknya matahari, ia masih sanggup untuk berdiri tegak, memberi arahan dengan sabar agar mobil itu bisa berputar dengan mudah.
Tangannya begitu ringan. Mudah terulur untuk membantu sesama.

          Dia seorang yang gigih.
Hidup di bawah garis kemiskinan tidak membuatnya menyerah, menyalahkan keadaan, atau marah pada Sang Pencipta.
Dengan keadaan fisik seperti itu, ia masih sanggup mengerjakan pekerjaan berat, seperti menukang. Yang seringkali dilakukannya sembari menjaga lapak susu kedelainya.

Tahan banting, hampir tak kenal lelah untuk bekerja. Itu kalimat yang tepat untuk menggambarkannya.

          Dia seorang yang rajin beribadah.
Sholat lima waktu dan dzikir tentu tak pernah terlewat. Ditambah dengan ucapan syukur yang selalu dipanjatkan dalam setiap doa.
Tak peduli dengan keadaan buruk yang terus menghimpitnya. Istri yang sakit, kebutuhan sekolah anak yang terus meningkat, tunggakan yang harus dilunasi, juga kesehatannya yang menurun.

Bagaimana bisa ia tetap bersyukur atas semua itu?


          Sedangkan aku, seringkali menggerutu jika WiFi rumah bermasalah. Sebal katena uang jajan pas-pasan. Kesal karena harus terus bekerja membantu orangtua di musim liburan.
Bahkan aku sempat menggerutu dan marah pada Tuhan.

          Mengapa aku dilahirkan di keadaan yang seperti ini? Mengapa aku tidak bisa seperti mereka-mereka? Mengapa jalan hidupku rasanya berat?
Aku menyesal pernah berpikiran seperti itu ketika melihat perjuangan hidup bapak penjual susu kedelai.

Hidupnya jauh lebih berat dari hidupku. Namun ia tampak lebih menikmati kehidupan ini.
Selalu ceria, menghibur orang lain, dan tak lupa membantu sesama dengan ikhlas.
Tidak pernah aku mendengar ia menggerutu, tidak pernah aku mendengarnya marah pada keadaan yang buruk.


          Oh Tuhan, ampuni aku yang tidak pernah bersyukur atas segala berkat yang Kau berikan.


also available on wattpad.com/clarissaclaa

You Might Also Like

2 komentar

  1. Hai mbak claa aku suka sama ceritanyaa yang ini�� baguuuus. ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uwaaaa makasiiiih banyaakkk udah baca dan nyempetin mampir! <3 <3

      Hapus

Music

nlart · Maru