The Last Letter

23 Juli

Tulisan ini dibuat secara acak, hanya menumpahkan inspirasi yang kebetulan lewat.

Inspirasinya datang setelah ada berita mengejutkan tentang meninggalnya vokalis Linkin Park, Chester Bennington.

Saya menuliskan ini setelah mendengar beberapa kabar kematian selebriti yang disebabkan oleh depresi dan bunuh diri. Tidak ada maksud untuk menjadi sok tahu, atau bahkan menyinggung pihak tertentu.
Saya hanya menarik kesimpulan pribadi, bahwa ternyata kehidupan para selebriti tidak se-nikmat yang kita bayangkan.

Sekali lagi, ini hanya tulisan abstrak. Tidak ada maksud tertentu dalam penulisannya, walau memang banyak kutipan lirik Linkin Park di dalamnya. Saya masih terpengaruh berita wafatnya Chester Bennington saat menulis ini.





Kukira semua akan berubah setelah aku sampai di puncak gunung.

        Popularitas, pengakuan, harta, karir yang gemilang. Itu semua ada di genggamanku.

Namun ini bukan keinginanku. Aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang musisi ternama internasional, menerima banyak penghargaan, juga memiliki fans di seluruh dunia.
Bagiku, musik hanyalah sebuah tempat untuk berlindung. Tempat di mana aku dapat menceritakan semua keluh kesah, tempat istirahat dari pelarian yang tak berarah.


        Kukira, hidupku akan jadi lebih mudah dengan ketenaran yang ada. Namun ternyata tidak. Bahkan bertentangan dengan itu.
Tidaklah mudah untuk hidup di bawah sorotan lampu panggung, dengan jutaan pasang mata yang terus menatap, mengamati gerak-gerik setiap waktu.
Aku tidak memiliki kebebasan privasi. Gerakan sekecil apapun dapat menjadi bahan perbincangan publik.
Aku tidak bisa berjalan santai di jalan tanpa jaket, kacamata, dan masker yang hampir menutupi seluruh wajahku.
Ini melelahkan.
Tidaklah mudah untuk hidup dengan harapan besar dari jutaan fans dari seluruh dunia.
Dalam setiap lagu yang kuciptakan, setiap bait lirik yang kutulis, ada tanggung jawab besar di dalamnya. Ada harapan yang harus kupenuhi. Jika tidak, mungkin karirku beserta band ini akan hancur. Dan hidupku akan semakin hancur lagi.
Memang ada jutaan orang yang mencintaiku di luar sana. Ada jutaan orang yang menaruh perhatian padaku, dan sangat menyukai kehadiranku dalam hidup mereka.
Namun tetap saja, aku merasa sepi dan hampa.
Semua itu terasa tak berarti. Walau ada banyak orang yang ingin menjadi sepertiku.
Aku merasa terbuang, dan hina.
Dunia tidak pernah memberi sedikitpun kebahagiaan. Bahkan tempat peristirahatanku kini berubah menjadi beban. Aku tidak menyukainya lagi.

THE TRUTH IS, YOU TURN INTO SOMEONE ELSE


        Memang, saat berada di panggung aku merasa bahagia, aku dapat melupakan masa lalu kelam itu.
Namun, pendar lampu panggung tidak selamanya menyala untuk mengusir ketakutan dan kegelapan di batinku.
Dan aku mencoba untuk mencari ketenangan melalui obat-obatan. Itu berhasil, walau untuk beberapa waktu saja.
Memang tiada yang abadi, tiada yang sempurna.
Dan aku mulai lelah, mulai muak dengan dunia ini.
Aku tidak memiliki tempat berlindung lagi, tidak memiliki tempat peristirahatan. Pelarianku pun semakin tak berarah.

        Jadi, apa gunanya aku terus berlari? Aku sudah lelah berlari. Bahkan untuk berjalan pun tak sanggup lagi.

Who cares if one more light goes out
in the sky of a million stars?

Dunia akan tetap baik-baik saja jika kehilangan satu orang sepertiku. Tidak akan ada yang berubah.
Mungkin para fans akan menangisi kepergianku, begitu juga dengan teman-teman, serta kerabatku.
Namun kesedihan itupun juga berlangsung sementara. Tidak akan abadi. Puluhan hari berikutnya mereka pasti akan lupa. Dan ratusan hari berikutnya aku akan dilupakan.

I know, i’m not the center of universe
so i’m holding up a light
chasing up the darkness inside
cause nobody can save me.

I Kept everything inside and even though i tried, it all fell apart
what it meant to me will eventually be a memory.





Then, Gone.

You Might Also Like

0 komentar

Music

nlart · Maru